Selasa, 03 April 2012

Sesudah Paripurna BBM, Menteri PKS Didepak?

Semua terserah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.Demokrat-PKS saling sahut di media massa.

 

Presiden SBY dan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (Antara/ Widodo S Jusuf)

VIVAnews - Hubungan Partai Demokrat dengan Partai Keadilan Sejahtera kembali memanas. Kali ini peletupnya adalah Bahan Bakar Minyak. Hingga Senin 2 Maret 2012, kian banyak politisi Demokrat yang mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendepak sejumlah kader PKS dari kabinet.
Memanasnya hubungan politisi kedua partai itu bermula dari voting kenaikan BBM di sidang Paripurna DPR, yang digelar Jumat 30 Maret 2012 hingga Sabtu subuh. Semenjak awal PKS memang telah menolak rencana kenaikan BBM itu. Bahkan mereka siap didepak dari kabinet.



"Presiden PKS dalam orasi politiknya pada penutupan Mukernas di Medan menegaskan kembali kesiapan PKS untuk menempati posisi apapun," kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS Refrizal di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 29 Maret 2012, sehari sebelum paripurna itu dimulai. (selengkapnya baca di sini)

Dan ketegangan itu terus berlangsung hingga rapat paripurna di Senayan itu. Pemerintah yang berusaha menaikkan harga BBM, merasa dikunci oleh Pasal 7 ayat 6 Undang-undang APBN 2012. Sebab ayat itu jelas melarang pemerintah menaikan harga BBM eceran. Pemerintah meminta agar ayat 6 itu dicabut, agar BBM bisa dinaikkan.

Usul itu ditentang PDI Perjuangan, Hanura, dan Gerindra. Lalu ada terobosan dari fraksi yang bergabung dalam pemerintahan. Mereka mengusulkan ayat 6 itu tidak dihapus tapi ditambah ayat 6A, ayat yang memberi syarat naik turunnya BBM.

Demokrat memberi syarat bahwa pemerintah bisa menaikan harga BBM jika harga Indonesia Crude Oil/minyak mentah Indonesia, naik 5 % dari yang ditetapkan dalam APBN-P. Fraksi PPP mengusulkan 10 persen, Golkar mengusulkan 15 persen, PKB mengusulkan 17,5 persen dan PKS mengusulkan 20 persen.( Baca hitung-hitungan kenaikan BBM)

Meski persentase yang diajukan berbeda-beda, semua fraksi itu setidaknya sepakat bahwa perlunya tambahan ayat 6A itu. Entah karena apa, dalam voting kemudian PKS kembali ke sikap semula. Menolak tambahan ayat 6A itu dan bersikap sama dengan Fraksi PDI Perjuangan, Hanura dan Gerindra.

Kubu pro ayat 6A itu kemudian menang dalam voting. Tapi mereka menyesalkan sikap PKS dan menuduhnya menelikung di titik final. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, menegaskan bahwa partai koalisi seharusnya solid mendukung kebijakan pemerintah.
Kesetiaan mendukung Presiden SBY, katanya, seharusnya bukanlah kesetiaan dua kaki. "Di mana berbeda antara janji dan kenyataan," kata Didi kepada VIVAnews, Senin 2 April 2012.

Menurutnya, jika PKS melanggar makna dan komitmen sebagai koalisi maka tidak ada gunanya lagi mereka berada dalam koalisi. Anggota Komisi Hukum DPR itu juga berpendapat bahwa tidak ada gunanya mempertahankan PKS dalam koalisi.

Demokrat, lanjutnya, merasa sangat terganggu apabila energi kader partai dihabiskan karena ada anggota koalisi yang terus mengganggu pemerintah untuk kepentingan politik sesaat semata. Energi koalisi, menurut Didi, seharusnya digunakan untuk memikirkan perbaikan dan kesejahteraan bangsa ke depan, bukan untuk meladeni partai pengganggu.

Oleh karena itu, Didi meminta PKS sadar diri dan mengundurkan diri dari keanggotaan koalisi. "Akan sangat terhormat jika mereka mundur dan bersikap sebagai oposisi tulen yang solutif," tegas putra Menteri Hukum dan HAM Didi Irawadi Syamsuddin itu. PKS saat ini mempunyai tiga kursi di kabinet. Ketiganya yakni Menkominfo Tifatul Sembiring, Mensos Salim Segaf Al-Jufri, dan Menteri Pertanian Suswono.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan bahwa bukan cuma Demokrat, anggota Setgab yang lain pun gerah dengan PKS. "Setgab akan rapat dalam 2-3 hari ini, untuk menentukan nasib PKS," kata Ruhut saat dihubungi VIVAnews, Selasa 2 April 2012.

Pria yang akrab dipanggil 'Si Poltak' ini menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu menyerahkan nasib PKS kepada Pimpinan Koalisi Setgab. Politisi yang juga pengacara ini melanjutkan, nantinya setelah PKS keluar dari koalisi, baru SBY akan menggunakan hak prerogatifnya.

Apakah itu berarti menteri-menteri dari PKS akan dicopot? "Bapak sudah memberi sinyal. Menteri dari PKS akan dicopot, tiga-tiganya." Meski ada beberapa partai yang minta jatah, kata Ruhut, soal menteri akan diserahkan pada SBY.

Ruhut mengritik pernyataan sejumlah tokoh PKS, bahwa partai itu "berkeringat" dalam pemenangan SBY-JK dalam Pemilu 2004 dan berlanjut dalam pemenangan SBY-Boediono dalam Pemilu 2009. "Jadi begini, aku mengutip pelawak Gepeng yang selalu melawak, "Untung ada saya".

Poltak ini yang berkeringat dan mau dibunuh tidak pernah ngomong begitu," kata dia. PKS, kata Ruhut, sebaiknya jangan sok pahlawan. "Kami sudah tanya Setgab, mereka sudah gerah. Kami punya aturan koalisi, PKS sudah melanggarnya."

Minggu petang kemarin, SBY pertamakalinya memberikan pengarahan kepada kader Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Dalam kesempatan itu, sejumlah kader menyampaikan keluhannya tentang PKS. "Ada aspirasi yang kuat di kalangan kader-kader Partai Demokrat untuk  yang tidak konsisten dengan kontrak koalisi itu bisa. Intinya, bagaimana kontrak koalisi itu bisa ditegakkan dengan baik," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di kantor DPP Demokrat, Jakarta Pusat, kemarin.

SBY sebagai Ketua Koalisi sudah mendengar keluhan itu langsung dari kader Demokrat. Tetapi, SBY tidak bisa memberikan sanksi sepihak. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum menyampaikan bahwa kontrak koalisi tidak hanya ditandatangani SBY dan Wakil Presiden Boediono.
Kontrak koalisi itu juga diteken oleh seluruh ketua umum partai koalisi yakni dari Demokrat, Golkar, PAN, PKS, PPP, dan PKB. Itu sebabnya,  kata Anas, bila ingin mengambil keputusan terkait nasib koalisi juga harus melibatkan ketua umum lainnya.

Beda Kontrol dan Pembelot
Menteri Komunikasi dan Informatika yang juga mantan Presiden PKS, Tifatul Sembiring, mengklaim bahwa tidak ada masalah dengan Presiden SBY sesudah sidang paripurna DPR soal BBM. Tifatul menegaskan konsisten mensosialisasikan soal rencana kenaikan harga BBM melalui kementeriannya.
Mengenai perbedaan sikap antara dirinya dengan PKS yang menolak BBM naik, menurut Tifatul tidak ada masalah. "Soal membelot tanyakan ke DPP saja. Saya tidak pernah berbeda dengan presiden dan melaksanakan semua arahan presiden," kata Tifatul, usai pelantikan Direksi LPP TVRI, di Jakarta, Senin 2 April 2012.

Soal kemungkinan dirinya digeser, Tifatul meminta agar jangan terlalu terburu-buru. Sampai sejauh ini, katanya, tidak ada masalah. "Asal jangan dikompori saja." Tapi bagaimana jika nanti benar-benar ditendang dari kabinet? Tifatul menjawab dengan berpantun. "Banyak rumput di atas Dahlia, jangan ribut ini soal dunia."

Menanggapi desakan kader Demokrat, Wakil Sekretaris Jenderal PKS, Mahfudz Siddiq menegaskan bahwa keberadaan PKS dalam kabinet  adalah kewenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketegasan PKS menolak usulan pemerintah menaikkan harga BBM dalam rapat paripurna kemarin,  katanya, sudah didasari oleh pertimbangan yang matang.

Soal adanya desakan dari beberapa kader Partai Demokrat agar PKS hengkang dari koalisi, menurut Mahfudz, adalah lagu lama yang diputar kembali. "Mereka lupa bahwa soal itu adalah urusan dan kewenangan SBY.

Kalau Presiden berhajat mengeluarkan PKS dari koalisi, Insya Allah itu akan merupakan kebaikan. Karena bagi PKS ada di dalam atau di luar pemerintahan adalah sama-sama kebaikan," kata Mahfudz dalam pesan singkat kepada VIVAnews, Senin 2 April 2012.

PKS membantah keras disebut partai koalisi yang berkhianat dan mbalelo. Bagi PKS, langkah politik yang sudah dilakukan termasuk soal kebijakan kenaikan harga BBM, bukanlah pembelotan. PKS mengaku sudah menjalankan fungsinya dengan baik.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar